Cerita tentang Umur 18

Heiho!

Selamat tahun baru 2017 untuk kalian semua. Semoga di tahun 2017 ini, gue bisa memberikan begitu banyak cerita yang menyenangkan untuk dibaca dan dicerna oleh kita semua, supaya kita bisa menjadi orang yang mau berbagi cerita satu sama lain. FYI, gue masih dalam masa-masa liburan. Jadi, mungkin akan banyak nulis sana-nulis sini. Tapi, mungkin juga nggak, karena either gue lagi pengen baca buku, atau ya nonton film, yang kesempatannya akan sangat jarang begitu liburan ini berakhir.

Selama liburan akhir tahun 2016 ini, gue banyak banget punya waktu untuk berpikir; bahkan gue sempat merasa bahwa, gue siap banget untuk menghadapi tahun 2017; excited gitu. Entah kenapa. Sepertinya, gue tau apa yang harus gue lakukan dan gue tau apa yang gue mau. Selama lebih dari 30 tahun gue hidup, rasanya ini baru pertama kalinya gue melihat cahaya yang agak terang begini. However, gue juga tau bahwa jalannya ke sana, nggak akan mudah. Gue masih harus terus meng-endure perjalanan ini.




Tahun 2016 menurut gue adalah sebuah tahun yang menarik, di mana gue diperkenalkan dengan yang namanya the joy of watching movie at home, atau bahkan nonton TV; dan gue diperkenalkan dengan drama Korea. Hebatnya, gue sangat menikmati menonton drama Korea, sampai-sampai hampir setiap gue selesai nonton satu seri drama Korea, gue akan mencari lagunya di iTunes, kalau ketemu ya gue beli. How crazy is that?

Liburan kali ini, gue menyelesaikan tiga seri drama Korea yang udah lama banget; gue nonton online, dan layanannya itu pakai iklan pula. Lucunya, ketiga drama Korea itu cerita tentang kehidupan anak-anak SMA, sekitar umur 18 tahun; umur yang (gue baru nyadar) adalah umur yang sangat rentan. Umumnya, anak-anak di usia ini menyadari bahwa mau jadi apa mereka. Ada yang punya impian secara natural, ada yang impiannya karena paksaan orang tua (entah mau jadi model, artis, dokter, atau apa pun), ada yang tidak menemukan mimpinya; seems like, umur 18 adalah umur yang rentan bagi setiap orang. Pada umumnya, remaja di umur segini juga mengalami kehidupan yang 'sulit', antara susah komunikasi sama orang tua (apalagi kalau orang tua-nya lebih fokus sama pekerjaan, karena berusaha cari uang buat anak-anaknya) atau bahkan karena tiba-tiba mereka menyadari bahwa mengambil bagian sebagai anggota keluarga, itu artinya mengambil tanggung jawab. Masalah keuangan keluarga, menjaga adik-adik, menimbang omongan orang tentang reputasi orang tua atau bahkan anggota keluarga yang lain, you name it. Mereka, remaja umur 18 tahun ini, harus menanggung itu semua. Lucunya, kebanyakan orang tua tidak menyadari akan hal ini, dan selalu berpikir bahwa mereka sudah besar, sehingga udah nggak perlu lagi ditanya'in. Bahkan mungkin, mereka dianggap annoying; karena mereka akan banyak protes, buat susah orang tua, dan orang dewasa akan selalu bilang, "Itu urusan orang dewasa, kamu diam dan terima aja. Orang dewasa lebih tau apa yang baik buat kamu." Pertanyaan gue kemudian, is that true?




Gue kemudian merefleksikan diri gue di umur segitu. Seingat gue, ketika gue berumur 18 tahun, gue udah kuliah. Tapi, gue juga menyadari bahwa waktu gue SMA dan kuliah, hidup gue nggak semudah anak-anak pada umumnya, terutama dibandingkan dengan mereka yang super tajir dan punya orang tua lengkap. Gue harus menentukan apakah gue mau menjadi insinyur atau gue mau menjadi atlit. Kedua jalan itu nggak ada yang mudah buat gue. I had to put a lot of efforts di dalam menjalani keduanya. Gue juga belajar bahwa menjalani keduanya dengan setengah hati, tidak akan membawa gue kemana-mana. Pada dasarnya, gue suka bermain. Bahkan saat belajar pun, gue bermain. I'm simply a person yang suka untuk menikmati segala sesuatunya; bahkan sampai sekarang.




Waktu gue kuliah S1 dulu, gue harus membagi waktu gue antara kuliah, belajar, ngerjain tugas, menjalankan tanggung jawab gue di gereja, menjalankan tanggung jawab gue untuk mendengarkan orang lain, menjalin hubungan dengan orang lain, gue sempat kerja juga sebagai guru les privat, main basket, dan tentu saja makan. Gue menikmati banget kehidupan di kos. Gue nggak perlu mikirin banyak hal sebenarnya, karena semua yang gue jalani adalah hal-hal yang gue sukai. Gue banyak ketawa, and I really think that I love my life; walaupun pada saat sakit hati. Hal paling terberat yang harus gue lalui adalah ketika gue harus jaga bokap gue yang di-opname karena stroke di akhir tahun gue kuliah S1. Dulu, untuk lulus, ada yang namanya ujian kompre. Itu pelajaran mulai dari tingkat 1 sampai tingkat terakhir diuji. Pada saat gue harus mempersiapkan diri untuk ujian kompre, gue harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari, untuk nungguin bokap gue. It was the most difficult time for me, as if the world has left me alone. Gue juga jujur nggak tau gimana caranya gue overcome itu semua. I just did.

Salah satu film Korea yang gue tonton bilang begini, "Pada umumnya, semakin seseorang beranjak dewasa, semakin berkurang hal-hal yang bisa mereka tertawakan..." then I thought to myself, apakah gue sekarang jadi orang yang tidak dewasa ketika gue tidak bisa tertawa seperti biasanya gue tertawa? Apakah quote itu benar adanya? Apa benar nggak ada yang bisa kita lakukan untuk menghindari hal tersebut? Gue kemudian mengambil kesimpulan bahwa hal itu nggak benar. Kalau ada orang dewasa yang kemudian merasa dirinya kurang tertawa, gue rasa karena mereka nggak memiliki lingkungan yang tepat, atau pertemanan yang tepat, yang bisa membuat mereka tertawa. Gue setuju bahwa kita harus semakin dewasa, tapi gue nggak setuju kalau kita harus mengurangi tawa. Menjadi dewasa artinya mengambil tanggung jawab yang lebih, tapi tidak pernah dibilang bahwa menjadi dewasa harus mengurangi tawa.

Gue jadi berpikir, gimana ya anak-anak remaja yang dari umur muda kemudian jadi atlit atau artis? Bangun tidur yang mereka lihat lapangan. Gue punya beberapa teman atlit, dan yang gue mengerti adalah prestasi mereka sebagai atlit hanya berjaya pada saat SMA, tapi pas kuliah, banyak banget yang drop. Kenapa? Gue nggak tau. Apakah karena kecintaan mereka terhadap cabang olahraga yang mereka tekuni, ternyata hanya cinta buta, yang memberikan bias? Gue jadi berpikir bahwa, mungkin memang tepat juga ketika gue memutuskan untuk banyakin belajar ketimbang ngebanyakin main basket. Gue bisa main basket sebagai selingan. Gimana dengan artis? Gue rasa sama juga. Semuanya akan teruji pada saat kita berada di umur 18. 

Salah satu drama korea yang gue tonton memperlihatkan artis-artis muda, di kisaran umur 18 tahun, yang waktu mendapatkan debut pertama kalinya, ada berbagai macam reaksi. Ada yang super excited, tapi kemudian nggak bertahan lama, ada yang cool, terima aja dan deal dengan kesusahannya nanti; tipe yang ini, bisa endure ketenarannya hingga lepas sekolah. Ada film lainnya yang cerita tentang kehidupan atlit berenang. Ini juga sama, masih SMA udah kompetisi di sana-sini, yang akhirnya dia harus bolos cukup banyak. Karena kecintaannya dari kecil, dia nggak bisa lepas dari berenang.

Menurut kalian, apakah umur 18 sudah cukup matang untuk mengambil keputusan, mengatur jadwal kesenangan dan perjuangan karir, apakah mereka benar-benar sudah cukup dewasa untuk ditinggalkan sendirian? Gue berkesimpulan bahwa umur 18 adalah umur yang sangat rentan dengan pengambilan keputusan, menikmati masa tumbuh yang normal, untuk dapat mengambil keputusan yang lebih baik di masa depan. Apa yang dipelajari saat umur 18-ish akan menentukan jadi orang seperti apa kita. Siapa teman-teman yang kita pilih untuk ada di dekat kita, itu juga akan sangat menentukan. Aneh, kenapa gue baru terpikirkan tentang hal itu sekarang, saat gue udah umur 30-ish.




Gue nggak tau bagaimana kondisi orang-orang saat ini yang sudah melewati masa-masa 18 tahunnya. Tapi yang jelas, kita nggak perlu mengulang masa-masa kita di umur 18 tahun, yang mungkin ingin kita putar kembali. Gue punya prinsip bahwa lebih baik kita semua, termasuk yang sedang atau menjelang umur 18 tahun, untuk menikmati keberadaan diri kita sekarang, tanpa melepaskan pandangan kita dari masa depan yang kita inginkan, sambil melepaskan masa lalu kita. Apa yang sudah berlalu, tidak bisa kita ulang, yang kita bisa adalah perbaikan. Untuk kalian yang di umur 18 tahun, nikmati lah. Itu tidak akan bisa kembali lagi. Temukan teman-teman yang membangun, dan bukan teman-teman yang dipicu oleh kekuatan dirinya sendiri.




Bagi gue, hidup itu seperti membangun rumah. Gue membangunnya dengan value, membangunnya bersama-sama dengan teman-teman gue, dan mendekorasinya sesuai dengan pengetahuan dan hikmat yang gue peroleh dari bergaul dengan teman-teman gue. Mungkin dekorasinya tidak sempurna, tapi yang pasti adalah gue membangunnya sebagaimana yang gue mau, dan bisa menjadi tempat persinggahan bagi orang-orang yang membutuhkannya.

ime'...

PS: percaya lah, gue juga nggak tau kenapa gue nulis ini.

Comments

Popular Posts