Media sosial: good or bad?

Heyho, temans! Gue lagi cerewet nih masa-masa gini. Kayaknya lagi banyak aja yang mondar-mandir di kepala gue… hahahah… hari ini, gue mau cerita soal media social. Tapi, sedikit banyak, ini akan ada hubungannya dengan postingan-postingan gue yang sebelumnya. Seperti biasa, postingan gue bertujuan supaya kita bisa melihat kembali kehidupan kita, supaya kita nggak jatuh ke lubang yang sama.

Media sosial: apa sih itu?
Mungkin kita berkenalan dulu dengan DEFINISI dari media social. Gue terus terang nggak tau banyak soal media social, karena mungkin karena gue nggak terlalu banyak waktu aja untuk nongkrongin media social. Bagi gue, ngobrol langsung sama orang is much much better, daripada timpal-timpalan komen. Gue juga nggak keberatan untuk menjadi orang terakhir yang tahu tentang sebuah isu, dan bukan jadi yang pertama. Tapi, tendensi yang gue perhatikan adalah banyak banget orang yang merasa ‘kecil’ banget kalau tau sebuah isu belakangan.




Anyway, media sosial kalau menurut Wikipedia itu adalah teknologi-teknologi yang computer-mediated, sehingga dapat memfasilitas penciptaan informasi, sharing informasi, ide, minat karir, dan bentuk-bentuk ekspresi lainnya, melalui komunitas virtual dan jaringan. Dulu mungkin masih tergantung sama laptop ya, tapi sekarang, hampir semua HP sudah dapat dikategorikan dengan smartphone (walaupun mereka nggak smart-smart amat sih menurut gue), sudah memungkinkan kita semua untuk menggunakan media sosial, tanpa terkoneksi dengan computer.

Memang sebenarnya media sosial ini jangkauannya lebih luas ketimbang dengan TV atau pun radio, dan mungkin karena media sosial sangat interaktif, jadi orang lebih suka menggunakan media-media ini, ketimbang media satu arah seperti TV atau radio. Gue juga belajar bahwa, kehadiran media sosial juga meningkatkan kemampuan setiap orang untuk bisa mengkritisi dan beropini. Bagus juga sih menurut gue.

Tapi, setelah beberapa tahun munculnya media sosial, gue ternyata bisa bilang bahwa, gue lebih menikmati pembicaraan in person, rather than via media sosial. Bagi gue, nggak penting banget ada komen yang tulisannya, “Pertama!!” di account gue.

Isi dari media sosial
Apa sih sebenarnya isi dari media sosial kalian? Gue punya beberapa akun media sosial. Isinya adalah hal-hal yang menyita pikiran gue, sehingga gue bisa memikirkannya lebih dalam. Kalau untuk Instagram, biasanya adalah hal-hal yang nggak biasa gue lihat, atau misalnya kenangan-kenangan yang menggila dengan teman-teman gue.

Tapi gue juga melihat, ada banyak media sosial yang isinya adalah BT sama orang di kantor, dipampang di media sosial yang bisa dilihat segambreng-gambreng orang. Atau, pernah juga nih, suami-istri atau kakak-adik, berantem di media sosial. Ini, gue gagal paham sama sekali. Itu masalah kapan selesainya ya? Mungkin malah menumpuk masalah dan nggak akan pernah bisa diselesaikan sama sekali. Kenapa nggak langsung datang ke orangnya, dan selesaikan masalahnya bersama di saat itu juga. Bukankah itu lebih enak?

Terus nanti implikasinya adalah pencemaran nama baik. Nah ya, kalau udah begitu, mau gimana lagi?
Sebenarnya, kalau misalnya kita marah sama orang, mendingan jangan dipampangin di media, deh. Bisa-bisa, kita malah memberikan contoh yang nggak baik untuk orang lain. Gimana coba kalau misalnya orang jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang sama dengan lingkungannya? Kan jadi aneh ya dunia ini jadinya…

Jadi, coba dilihat deh, kira-kira isi media sosial kalian itu apa aja. Think before we post.

Dampak media sosial terhadap kita dan lingkungan kita
Gue sering banget dibanding-bandingin, entah apa sebabnya. Tapi, gue sekarang berusaha untuk berpikir realistis aja: apa yang nggak bisa gue lakukan, tidak akan gue lakukan. Kalau ada orang yang malah BT karena gue nggak bisa melakukan apa yang diinginkan untuk gue lakukan, ya biasanya gue coret orang itu dari ring terdekat gue. Ada pepatah yang bilang, “Kita tidak pernah bisa menyenangkan semua orang,” dan itu bener banget. Kalau belajar dari prosedur keselamatan yang ada di pesawat-pesawat, maka gue lebih baik akan mengikuti nasihat tersebut: selamatkan diri kamu sendiri terlebih dahulu, sebelum kamu bisa menyelamatkan orang lain. Jadi, lebih baik membuat diri kamu bahagia dulu, baru kebahagiaan kamu akan bisa menular dan membuat orang lain bahagia. Iya nggak sih?

Seorang bijak pernah bilang begini ke gue (ke banyak orang sih, tapi nancep di gue), suka atau nggak suka, kita pasti akan dibeda-bedakan oleh sekeliling kita. Tapi, bagaimana kita merespon hal tersebut, itu yang harus kita pastikan untuk memberikan dampak positif bagi diri kita dan sekeliling kita.
Gue sebenarnya nggak pernah merasa dibanding-bandingkan sih. Mungkin karena gue dari dulu main basket, dan pelatih-pelatih gue itu nggak pernah ngebanding-bandingin gue dengan yang lain-lain. Justru mereka malah sibuk mencari kekuatan gue, dan gue di-drill terus di area itu. Gue juga nggak merasa gimana-gimana banget kalau misalnya ada orang lain yang punya teknologi lebih canggih dari yang gue punya.

Gue itu baru punya HP di tahun 2002 kayaknya. Itu pun dipinjamkan teman gue, karena dia kesal berat gue nggak bisa dihubungin terus. I was so comfortable dengan diri gue at that time, jadi gue juga biasa aja. Waktu gue kerja, jamannya BBM gitu, gue mungkin adalah orang terakhir di kantor yang punya BBM. Itu pun karena gue harus ikutan program di Amerika, dan having BBM itu memudahkan gue sangat. Bagi gue, teknologi itu adalah sesuatu yang harus gue gunakan, dan bukannya teknologi yang menggunakan gue.

Gue terus terang juga nggak tau kenapa gue harus segininya ya. Mungkin juga karena didikan orang tua gue yang selalu bilang kita itu harus mencukupkan diri kita sendiri, sebanyak apa pun uang yang kita punya. Bukan karena kita punya uang, kemudian kita harus menghabiskannya untuk sesuatu yang nggak bermanfaat.

Gue juga suka travel. Tapi gue kalau travel juga mikir, gue hitung biayanya, dan gue lihat ketersediaan uang gue berapa. Destinasi gue untuk travel tidak ditentukan dari suara orang-orang yang ada di sekeliling gue sih. Tapi destinasi gue untuk travel itu ditentukan dari gambar apa yang gue mau ambil, secara gue juga suka moto. Kalau pun gue pengen ke satu negara gitu ya, biasanya muncul sekali, abis itu hilang seminggu kemudian… hahahah… Gue kalau travel pada umumnya itu adalah motret dan refleksi diri gue. Kecuali untuk travel yang serombongan.

Tapi gue nggak tau, do we have the same principle? Mungkin juga gue terlalu ignorant ya…
Gue mungkin karena terbiasa hidup sendirian dari kecil ya, jadi gue appreciate banget yang namanya hubungan personal dan real, ketimbang jumlah follower di media sosial gue. Dan dari dulu, gue lebih suka memberikan kejutan buat banyak orang, gue suka kalau semakin banyak orang yang nggak bisa menebak gaya hidup gue, seberapa pintar gue, dan lain-lain. Gue lebih senang dianggap biasa-biasa aja di awal, sampai orang bisa menilai gue sendiri sesuai dengan apa yang mereka lihat. Jadi bukan dari gelar gue, kekayaan gue, atau popularitas gue.

I don’t mind follower gue nggak banyak. Itu membuat gue jadi lebih bebas untuk posting hal-hal yang menurut gue cuman boleh diketahui sama orang-orang terdekat gue.

Oh well

Bagaimana kamu menggunakan media sosial kamu?
Kalau kamu, kenapa kamu punya media sosial? Apa yang kamu unggah di media sosial?
Gue belajar bahwa seiring dengan berjalannya waktu, gue nggak terlalu excited lagi dengan media sosial. Kalau gue pakai media sosial, paling terbatas. Kadang hanya untuk menyebarluaskan tautan blog gue aja… yah, narsis ya? Hahahha… Itu pun gue nggak setiap hari nge-blog. Tahu kah kalian, kalau nulis itu susah? Hahahha…

Gue juga merasa bahwa media sosial itu sebenarnya tidak mendidik kita untuk membaca tulisan-tulisan panjang, misalnya buku. Berapa banyak saat ini orang-orang disajikan dengan tulisan-tulisan yang sangat singkat, untuk menyampaikan pendapat mereka? Bagus sih, tapi kalau terlalu banyak, akan kah kita bisa membaca dan memiliki kemampuan untuk berimajinasi, sebagaimana yang ditawarkan kepada kita, ketika kita membaca buku (bukan komik yaa…). Gue sampai berpikir, sampai sejauh mana nanti tulisan-tulisan akademis akan bisa berkembang?

Gue masih pakai media sosial juga kok, tapi gue juga memutuskan untuk tetap bisa membaca buku dan menulis panjang. Kan nggak semua orang yang berpikir seperti gue.

Memang benar media sosial itu membuat jaringan kita sangat luas. Namun, seluas apa pun jaringan gue di media sosial, gue tetap mengapresiasi ketemuan langsung dengan masing-masing individu. Gue berusaha banget untuk nggak banyak berinteraksi dengan HP gue, dan juga meminimalkan membuka media sosial di laptop. Secara kerjaan gue banyak banget. Kalau misalnya gue perlu untuk relieve stress gue, yang gue lakukan adalah juggling hahahha… tahukah kalian bahwa aktivitas fisik itu membuat aliran darah kita menjadi lebih lancar, dan otak kita jadinya mendapatkan aliran darah segar senantiasa?

Menggunakan media sosial sekali-sekali juga nggak apa-apa kok. Gue cuman pengen menyalakan alarm aja, early warning system lah. Beberapa komponen EWS gue adalah yang di bawah ini:

-              Keranjingan sama media sosial itu buang-buang waktu banget. I better hire a person to work on that, rather than spending my time for that.

-              Pakai smartphone itu mata gue nggak sehat, dan jempol gue pegel. I rather meet the person by myself, rather than using virtual communications. Lagipula, Bahasa tulisan itu sangat berbeda dengan Bahasa sebenarnya. Jangan sampai orang malah salah tangkap karena statement kita di media sosial, padahal kita nggak bermaksud begitu.

-              The more media sosial yang gue pakai, the more memory required for my phone. Gue cuman install yang penting-penting aja, dan untuk hal-hal lain, I better go meet them in person. Semakin banyak memori yang dibutuhkan oleh telepon gue, semakin gue pengen HP yang memorinya lebih gede. Jreng! Mahal bener, broohh!!

-              Gue menemukan bahwa banyak orang yang kemudian membandingkan apa yang mereka miliki dengan apa yang orang lain miliki, sedikit banyak disebabkan oleh pengaruh dari media sosial. Bagi gue, mendingan gue nggak punya apa-apa, daripada gue punya hutang. I would rather buy things that I afford dan gue butuh, daripada gue harus berhutang. Gue nggak mau kemudian keluarga gue harus kesulitan karena gue berhutang, cuman gara-gara gue pengen satu barang yang juga dimiliki sama orang lain. What’s in it for us?

Gue nggak tau bagaimana kalian menggunakan media sosial. Tapi gue berharap, jangan sampai media sosial itu menghancurkan hubungan, kebiasaan baik, dan hal-hal positif lainnya yang kita punya, hanya demi sebuah kata: eksistensi, untuk bisa diterima oleh sekeliling kita.

Pakai media sosial itu boleh, tapi awas, ada efek sampingnya.

Have a lively life, people!


ime’…

Comments

Popular Posts