Belajar dari Anak-Anak

Hari Minggu selalu menjadi hari yang paling menenangkan saya, karena pada umumnya, di hari Minggu saya nggak grasak-grusuk. Pagi bangun untuk ke gereja, siang biasanya saya olahraga, sore di rumah menikmati pemandangan alam rumah ayah saya, dan malam umumnya kami sekeluarga makan bersama.

Hari Minggu juga menjadi ajang bagi saya untuk bisa bermain bersama dengan keponakan-keponakan saya yang sudah cukup besar, tapi tanggapannya masih lucu-lucu. Tanggapan-tanggapan mereka kadang membuat saya berpikir, bahwa mereka jauh memiliki seluruh dunia, ketimbang saya. Imajinasi mereka tidak dibatasi oleh kata-kata bernama 'realita', atau 'fakta', atau apapun yang terkadang pahit. Imajinasi mereka masih liar bekeliaran di benak mereka, dan itu menjadikan mereka lebih kreatif.

Setelah makan malam bersama keluarga di luar rumah tadi, saya mengajak kedua keponakan saya untuk naik mobil yang saya kendarai, karena saya hanya sendiri. Mereka pun tertawa senang menerima ajakan saya itu. Baru naik ke atas mobil, mereka sudah bilang, "Ayo tante, cepat, kita balap Papa, Mama sama Opa." Saya tertawa (walaupun kesel juga sih). Tapi saya pikir, ya sudahlah, apa salahnya juga yah bermain.

Beberapa menit setelah kami meninggalkan restoran, keponakan saya yang paling tua berkata, "Eh, kita main ABC yuk," pada adiknya. Kontan sang adik menerima ajakan tersebut. Mainannya sederhana, dan saya yakin kita semua pernah memainkannya. Masing-masing akan menunjukkan telapak tangan mereka setelah aba-aba, lalu menghitung jumlah jari yang 'terpasang'. Jumlah jari tersebut kemudian dikorelasikan dengan alfabet; misalnya, angka 1 berarti A, 2 berarti B, 3 berarti C dan seterusnya. Setelah mereka mendapatkan alfabetnya, mereka harus menyebutkan nama binatang dan tumbuhan (plus buah) sebanyak-banyaknya.

Harus saya akui, saya ternyata tidak secepat mereka berpikir. Saya setengah mati berpikir hewan/tumbuhan/buah apa yang dimulai dengan huruf J (Jerapah sudah diambil duluan; begitu pula dengan Jambu). Rasanya frustrasi juga main itu; apalagi, lawannya anak kecil.

Hal ini membawa saya berpikir bahwa memang kita tidak seharusnya menilai anak kecil itu sebagai 'rendah' atau tidak tahu apa-apa atau tanpa pengalaman. Pada umumnya, anak kecil itu justru lebih pintar, karena mereka masih memiliki imajinasi tinggi pun semangat belajar yang super ajaib.

Saya jadi belajar untuk tidak merendahkan orang. Apapun posisinya, berapa pun umurnya, bagaimana pun penampilannya. Saya belajar, justru orang yang modest, merasa dirinya belum apa-apa, memiliki semangat belajar yang jauh lebih tinggi daripada orang yang puas diri. Saya juga belajar, supaya saya juga memiliki 'spirit' anak-anak tersebut; kreatif, mau belajar, senang bergaul, bermain, dan tidak egois. Selalu ingin tahu, banyak bertanya; tidak takut, karena mereka selalu yakin, pasti ada yang jaga.

Faith like a child ini yang kata Jars of Clay, yang bisa jadi modal kita untuk move mountains (yang biasa disinonimkan dengan masalah), crash and send it to the sea.

Would you be like a child, in terms of being humble, brave by taking all risks you probably need to do, to be creative and willing to learn?

I would... and i do hope that you guys would too...

ime'...

Comments

aaqq said…
tapi kalo maen begituan lo masih kalah juga mey..
kebangetan deh.. =))
ime' said…
[aaqq] hahahahha... gue pengen tau kalo' elo yang maen lawan ponakan-ponakan gue :D

Popular Posts