Otak dan Pintar

Ok, sebenarnya, saya pengen banget membahas soal 'pintar' yang tentunya ada hubungannya sama 'otak'. Kenapa? Karena saya penasaran banget sama kata 'pintar' ini. Kalau otak, karena saya cuman punya foto otak (bukan deng, itu foto Tom Yam seafood yang banyak ikannya). Well, anyway...

Saya sebenarnya penasaran dengan kata 'pintar' ini, karena saya pribadi tidak merasa pintar. Bagi saya, orang yang men-cap saya pintar karena latar belakang sekolah saya, berarti belum mengenal saya sangat dalam, baru di permukaan. Seperti yang salah satu teman SMA saya katakan waktu SMA dulu, "Payah nih orang-orang... tertipu abis... disangkanya SMA ini SMA unggulan, gak tau aja isinya anak-anak bejat... (sambil memperhatikan beberapa orang di dekatnya, yang memang waktu itu sedang menemaninya menikmati setrapan guru - lari keliling lapangan basket; termasuk saya)"

Saya juga setuju sih dengan itu... people look at us from the outside, but once they get into us, they would finally knew that we're just an ordinary 'kid' at the time.


Saya memang jarang banget merasa 'pintar'. Bisa disebabkan oleh beberapa hal:

1. Sekeliling saya adalah orang-orang yang lebih pintar dari saya;

2. Saya merasa output saya biasa aja, tidak istimewa dan semua orang bisa melakukannya; it's so human and so natural;

3. Saya punya definisi 'pintar' sendiri, yaitu those who kne
w everything without any doubt and blame. Agak berat memang definisi itu, tapi ya sudahlah;
4. Bagi saya, orang pintar itu adalah orang yang bisa menuliskan pikirannya, merajut kata-kata dengan indah, sehingga membuat tulisan orang tersebut masuk dalam kriteria 'unputdownable'
5. Bagi saya, orang pintar itu tidak selalu harus berbicara; justru saya paling berhati-hati dengan orang yang jarang bicara;
dan banyak lagi yang tidak terpikir oleh saya.


Pernah suatu kali saya merasa sangat pintar. Nilai matematika saya waktu SMA tidak pernah berada di bawah 8, kecuali untuk ilmu ukur ruang (dimensi 3). UMPTN Matematika Dasar saya betul semua, tidak diisi satu, karena menurut saya tidak ada jawabannya (memang gak ada jawabannya), Matematika IPA saya sepuluh-sepuluhnya benar. Tapi begitu saya ketemu Kalkulus II di bangku kuliah, saya langsung merasa derajat kepintaran saya anjlok, hilang tanpa komunikasi akhir; out of service, gone out from the radar. Earth to smartness... Earth to smartness calling...

Sekarang, saat saya sudah lupa bahwa ada kata 'smart' (dan bukan singkatan SMART), saya kembali berpikir, sebenarnya, saya smart nggak sih????

ime'...

PS: Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tulisan ini nggak penting yah?

Comments

Popular Posts