Cerita tentang sekolah...

Sekolah bagi gue adalah pengalaman terbaik yang pernah ada di hidup gue. Gue even sempat berada pada titik di mana gue nggak mau bekerja, karena gue suka sekolah. Gue bisa berpikir apa saja, dan kemudian mencobanya, gue punya banyak teman, banyak kegiatan, dan hari-hari kita dihiasi oleh mimpi, dan nggak terlalu khawatir dengan hari esok. Kalau uang bulanan belum nyampe', ada teman-teman yang selalu buka kos-kosan mereka untuk makan bareng, walaupun hanya sekedar mie instan. Kalau misalnya lagi sedih, mereka bisa ditemukan di tempat biasa nongkrong bareng: kalau nggak perpustakaan, ya lapangan basket, atau unit. Sekolah bagi gue, adalah pengalaman terbaik, dan gue akan sangat senang untuk mengulanginya kembali. 

Pandangan gue tentang sekolah pun sebenarnya terbawa ke dunia kerja. Gue merasa bahwa gue ini bekerja dan bermain, seperti di sekolah. Ada masa ujiannya juga sih, tapi masa ujian di kerjaan nggak ada periode-nya. Macam kuis dari Profesor yang jahilnya luar biasa; datang tak diundang, pulang nggak bilang-bilang (kapan kuis pernah pulang?). Mereka datang seenak perut aja, jadi kalau kerja, setiap hari adalah belajar. Waktu gue cerita tentang pandangan gue ini, ternyata, banyak orang yang iri sama gue, karena mereka nggak bisa bilang bahwa bekerja itu kayak bermain. Gue juga jadinya suka kesal kalau orang bilang gue terlalu sibuk dengan pekerjaan gue, atau terlalu overwhelmed dengan kerjaan gue. Padahal, gue simply suka bermain; dan bagi gue, bekerja itu adalah mirip seperti bermain. You meet people, ngobrol-ngobol, curhat, gosip, tukar pikiran, ngerjain PR sama-sama, supaya nanti kalau ujian (ditanya'in sama team leader misalnya), gue bisa jawab. And I guess, am really blessed with those facts.

Akhir-akhir ini gue banyak nonton drama Korea tentang sekolah; sesuatu yang tidak pernah gue pikirkan ketika gue sekolah dulu di SD, SMP, atau bahkan SMA, atau bahkan lagi kuliah. Pemikiran itu adalah you are so well in school, but how are you outside of school? Gue menemukan dari drama-drama itu, bahwa ternyata ada begitu banyak orang tua yang sangat ambisius dan kompetitif, menginginkan anak-anak mereka untuk masuk ke sekolah yang bukan cuman terbaik, tapi lebih dari yang terbaik. Gue juga mengalami hal itu, tapi gue nggak pernah disuruh orang tua gue. Gue mau masuk ke perguruan tinggi terbaik, semata-mata karena gue emang pengen. It was like my dream kali (walaupun ternyata mimpi itu belum tentu indah juga ya kalau sudah terealisasi...)... tapi memang hal terbesar yang gue nggak pernah bisa jawab adalah, kalau besar, gue mau jadi apa?
  



Gue masih ingat dulu waktu masih SMP atau SMA gitu ya, kita suka diminta untuk ngisi diary temen kita, yang isinya macam-macam, termasuk cita-cita. Gue juga ingat persis, bahwa gue tulis cita-cita gue itu banyaknya luar biasa, semuanya gue sebutin. At the end of the day, waktu gue reflect back, memang ternyata gue menjadi orang yang merupakan gabungan dari apa yang gue tuliskan; tidak full melakukan profesi tersebut, tapi ada aktivitas-aktivitas yang memang gue lakukan.

Hal lain yang gue temukan adalah orang tua yang menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah dan lepas tangan terhadap pendidikan mereka di luar sekolah. Kalau misalnya kita mendapati anak-anak tersebut nakal, gurunya yang kita salahkan. Gue sebenarnya nggak setuju dengan konsep bahwa guru itu bertanggung jawab bagi kedewasaan anak-anak. Bagi gue, anak-anak itu adalah tugas dan tanggung jawab orang tua. Mungkin, gue juga termasuk salah satu anak yang seperti itu ya. Pulang ke rumah, orang tua gue lagi kerja, awalnya nggak terlalu terasa, karena ya itu, gue anaknya suka main. Tapi, paska nyokap gue meninggal, kebutuhan akan orang tua itu semakin terasa. Gue jadi berpikir mengenai suatu pemikiran yang bilang bahwa anak itu paling butuh orang tua ketika masih bayi, tapi menurut gue, seorang anak itu membutuhkan orang tua mereka di sepanjang masa. Gue menyadari bahwa jaman sekarang, bisa sangat berbeda. Orang tua harus bekerja lebih keras lagi untuk mendengarkan dan mengarahkan anak-anaknya.

Sepertinya tahun lalu, gue mendapat cerita tentang seorang remaja putri di SMA, yang sampai masuk rumah sakit, hanya karena dia disirikin sama temannya yang lain perihal pacar. Jaman gue dulu, salah seorang yang gue kenal sampai meninggal karena ketusuk akibat tawuran. Teman gue juga ada yang nge-drugs waktu masih SMP. I have so many stories tentang kehidupan remaja baik di jaman gue dulu masih duduk di bangku sekolah, sampai sekarang ketika gue mendengar cerita-cerita dari banyak orang. What went wrong? Apakah tergantung dari jenis permainan yang kita mainkan? Gue dulu main karet dan bekel, dan congklak. Mungkin anak sekarang main yang lain, game online misalnya. Gue juga punya satu teman yang adalah orang tua, nangis dan kecewa karena anaknya ternyata terjerat dalam game online, yang ternyata bukan game biasa.

Beberapa film tentang kehidupan remaja yang gue tonton, memberikan gue insight bahwa kehidupan remaja itu adalah fase yang paling krusial dalam hidup masing-masing orang, sehingga sebenarnya merupakan fase yang paling berat. Apa yang lo tonton sebagai remaja? Informasi apa yang masuk ke kepala elo waktu remaja? How did you use your time ketika lo remaja? Itu yang sebenarnya menjadi buah dari kehidupan lo di masa sekarang. Somehow, gue merasa menjadi anak yang sangat beruntung memiliki orang tua yang cukup; tidak terlalu kaya dan tidak juga berkekurangan. Walaupun gue sempat kerja sambilan waktu kuliah untuk biaya gue juga, tapi, setidaknya gue masih cukup.

Gue juga bukan anak yang jalannya lurus; kadang gue belok, kadang gue jatuh, kadang gue salah arah, frustrasi, dan nyasar ke dalam kegelapan. Tapi, di situ gue menyadari, itu lah gunanya teman; dan gue baru menyadari, bahwa many times, friends are closer than a brother; membuat gue jadi bertanya, kalau gitu, mana yang lebih berharga, pertemanan, atau kekeluargaan? A wise man say bahwa orang yang bisa menyakiti elo paling dalam itu adalah orang yang paling dekat dengan elo. Jadi, wajar banget kalau misalnya ada anggota keluarga lo yang menyakiti hati elo. Tapi, banyak saat di mana when your family disappoints you, you still have friends who will carry you through. Gue rasa, sama juga kebalikannya. 

 

Gue merasa gue banyak teman, walaupun gue nggak banyak curhat sama orang. Nggak banyak curhat itu sebenarnya karena gue menyadari bahwa masalah yang gue hadapi, sebenarnya nggak banyak berubahnya. Salah seorang teman baik gue bilang bahwa kalau masalah kita nggak berubah, maka sebenarnya, hidup kita juga nggak berubah. Why do you have to exaggerate things yang sebenarnya selalu ada berulang kali? Haven't you learned? Gue juga merasa bahwa teman yang paling baik itu adalah teman yang bisa mengkritik dan memberikan gue masukan, apa adanya. Bukannya tanpa rasa pedih ketika menegur gue, dia sakit juga ketika dia memberikan kritikan yang menyakiti gue, tapi dia mau melakukan hal itu supaya gue bisa jalan di jalan yang seharusnya dan selayaknya. 

Ah... rasanya saya lebih suka dengan cerita hubungan persahabatan ketimbang dengan hubungan percintaan. Makanya saya selalu suka hubungan percintaan yang berawal dari persahabatan, dan terus bisa menjaga persahabatan itu. Lucky I'm in love with my best friend, I think its beauty is really true ...

Salah satu drama yang gue baru selesai nonton juga nggak bicara tentang percintaan, tapi tentang persahabatan. Sahabat means trust, pain, sharing, caring, loving, and everything in between. Gue juga belajar bahwa persahabatan itu tidak terjadi secara otomatis, tapi dia perlu effort. Effort untuk mengerti orang tersebut, effort untuk kerja fisik, tahan mental, for something that is thicker than blood. Salah satu lagu yang gue suka dari Project Pop adalah 'Ingatlah Hari Ini'. Gue bisa mendengarkan lagu itu berkali-kali, berulang-ulang, terutama di bagian: 'Kamu sangat berarti, istimewa di hati, slamanya rasa ini. Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing, ingatlah hari ini...'.

I cannot imagine what my life would be tanpa teman-teman gue; baik yang ada di Indonesia yang tercinta ini, maupun yang ada di internasional. Mungkin gue jadi laugh-less, nggak hore, nggak asik, nggak cihui, nggak merasa aman dan selalu menganggap curiga akan orang lain. Gue tumbuh memiliki banyak teman, yang selalu protecting me, walaupun mereka nakalnya luar biasa, mereka nggak pernah mengijinkan gue nakal. 

Kalau kembali ke cerita sekolah, maka gue akan bilang hal ini: sekolah itu bukan masalah  belajar, tapi sekolah itu adalah masalah bergaul dan bersosialisasi. Kakak ipar gue pernah bilang begini, kenapa orang harus sekolah, kalau misalnya kita bisa belajar dari internet? Dan kemudian, dia menjawab sendiri (mungkin karena tau gue gak bisa jawab yak), karena hanya di sekolah, kita berinteraksi dengan orang lain, mencari jawaban bersama dengan orang lain, berbagi, bersosialisasi, dan bekerja sama. Gue rasa, kita jadi kehilangan the true meaning of school, ketika nilai menjadi takaran yang melebihi kemampuan kita dalam bersosialisasi, atau ambisi kita untuk dapat masuk ke perguruan tinggi tertentu. Sama seperti yang ada di drama-drama Korea tentang sekolah yang gue tonton. Sekolah menjadi tidak masuk akal ketika kita hanya memikirkan angka dan prestasi. 

Bagi gue, orang yang kepintarannya hanya slightly di atas rata-rata (tetep nggak mau bilang biasa aja, hahahaha...), angka dan prestasi itu tetap bisa diperoleh ketika kita juga banyak bermain kok. Kalian nggak percaya? Gue adalah buktinya.

Makanya, bergaul lah... itu sehat buat jiwa kita dari remaja sampai kita tua nanti. 

Percayalah apa yang dikatakan sayah... :)

ime'...

Comments

Popular Posts